Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa alias Raden Mas Said (lahir di Kraton Kartasura, 7 April 1725 – meninggal di Surakarta, 28 Desember 1795 pada umur 70 tahun) adalah pendiri Praja Mangkunegaran, sebuah kadipaten agung di wilayah Jawa Tengah bagian timur, dan Pahlawan Nasional Indonesia. Ayahnya bernama Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura dan ibunya bernama R.A. Wulan.
Julukan Pangeran Sambernyawa diberikan oleh Nicolaas Hartingh,
gubernur VOC, karena di dalam peperangan RM. Said selalu membawa
kematian bagi musuh-musuhnya.
Papan nama Raden Mas Said di Surakarta. |
1. Riwayat
Perjuangan RM Said dimulai bersamaan dengan pemberontakan laskar Tionghoa di Kartosuro pada 30 Juni 1742 yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi
(juga disebut "Sunan Kuning"), mengakibatkan tembok benteng kraton
Kartasura setinggi 4 meter roboh. Pakubuwono II, Raja Mataram ketika itu
melarikan diri ke Ponorogo. ketika itu RM Said berumur 19 tahun. Dia
bergabung bersama-sama untuk menuntut keadilan dan kebenaran atas harkat
dan martabat orang orang Tionghoa dan rakyat Mataram, yang ketika itu
tertindas oleh Kumpeni Belanda (VOC) dan Rajanya sendiri Pakubuwono II.Geger pecinan ini berawal dari pemberontakan orang-orang Cina terhadap VOC di Batavia.
Kemudian mereka menggempur Kartasura,yang dianggap sebagai kerajaan
boneka dari Belanda. Sejak Pasukan Cina mengepung kartasura pada awal
1741, para bangsawan mulai meninggalkan Kraton Kartasura. RM Said
membangun pertahanan di Randulawang, sebelah utara Surakarta, Ia
bergabung dengan laskar Sunan Kuning melawan VOC. Said diangkat sebagai
panglima perang bergelar Pangeran Perang Wedana Pamot Besur. Ia menikah
dengan Raden Ayu Kusuma Patahati. Adapun Pangeran Mangkubumi justru lari
ke Semarang, menemui penguasa Belanda dan meminta dirinya dirajakan.
VOC menolak permintaan itu. Ia kemudian bergabung dengan Puger di
Sukowati. Berkat bantuan Belanda, pasukan Cina diusir dari Istana
Kartasura, enam bulan kemudian, Paku Buwono II kembali ke Kartasura
mendapatkan istananya rusak. Ia memindahkan Istana Mataram ke Solo
(Surakarta). Kebijakan raja meminta bantuan asing itu, ternyata harus
dibayar mahal. Wilayah pantai utara mulai Rembang, Jawa Tengah, hingga
Pasuruan, Surabaya dan Madura di Jawa Timur harus diserahkan kepada VOC.
Setiap pengangkatan pejabat tinggi Keraton wajib mendapat persetujuan
dari VOC. Posisi raja tak lebih dari Leenman, atau “Peminjam kekuasaan
Belanda”. Pangeran Mangkubumi, akhirnya kembali ke Keraton.
Pangeran Mangkubumi lalu bergabung dengan Mangkunegoro, yang
bergerilya melawan Belanda di pedalaman Yogyakarta, Mangkunegara dalam
usia 22 tahun, dinikahkan untuk kedua kalinya dengan Raden Ayu Inten,
Puteri Mangkubumi. Sejak saat itulah RM Said memakai gelar Pangeran
Adipati Mangkunegara Senopati Panoto Baris Lelono Adikareng Noto. Nama
Mangkunegara diambil dari nama ayahnya, Pangeran Arya Mangkunegara
Kartasura, yang dibuang Belanda ke Sri Langka. Ketika RM Said masih
berusia dua tahun, Arya Mangkunegara ditangkap karena melawan kekuasaan
Amangkurat IV (Paku Buwono I) yang dilindungi VOC dan akibat fitnah keji
dari Patih danureja. Mungkin karena itulah, Said berjuang mati-matian
melawan Belanda. Melawan Mataram dan Belanda secara bergerilya,
Mangkunegara harus berpindah-pindah tempat. Ketika berada di pedalaman
Yogyakarta ia mendengar kabar bahwa Paku Buwono II wafat. Ia menemui
Mangkubumi, dan meminta mertuanya itu bersedia diangkat menjadi raja
Mataram. Mangkubumi naik tahta di Mataram Yogyakarta dengan gelar
Kanjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati Ngaloka Abdurrahman Sayidin
Panotogomo. Penobatan ini terjadi pada “tahun Alip” 1675 (Jawa) atau
1749 Masehi. Mangkunegoro diangkat sebagai Patih –perdana menteri–
sekaligus panglima perang dan istrinya, Raden Ayu Inten, diganti namanya
menjadi Kanjeng Ratu Bandoro. Dalam upacara penobatan itu, Mangkunegara
berdiri di samping Mangkubumi. Dengan suara lantang ia berseru, “Wahai
kalian para Bupati dan Prajurit, sekarang aku hendak mengangkat Ayah
Pangeran Mangkubumi menjadi raja Yogya Mataram. Siapa dia antara kalian
menentang, akulah yang akan menghadapi di medan perang” meski demikian,
pemerintahan Mataram Yogyakarta berpusat di Kotagede itu tidak diakui
Belanda. Setelah selama sembilan tahun berjuang bersama melawan
kekuasaan Mataram dan VOC, Mangkubumi dan Mangkunegara berselisih paham,
pangkal konflik bermula dari wakatnya Paku Buwono II. Raja menyerahkan
tahta Mataram kepada Belanda. Pangeran Adipati Anom, putera Mahkota Paku
Buwono II, dinobatkan sebagai raja Mataram oleh Belanda, dengan gelar
Paku buwuno III, pada akhir 1749.
RM Said berperang sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan Mataram dan Belanda. Selama tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Tionghoa melawan Belanda. Kemudian bergabung dengan Pangeran Mangkubumi selama sembilan tahun melawan Mataram dan Belanda, 1743-1752. Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, sebagai hasil rekayasa Belanda berhasil membelah bumi Mataram menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta, merupakan perjanjian yang sangat ditentang oleh RM Said karena bersifat memecah belah rakyat Mataram.
Selanjutnya, ia berjuang sendirian memimpin pasukan melawan dua kerajaan Pakubuwono III & Hamengkubuwono I
(yaitu P. Mangkubumi,Pamannya sekaligus mertua Beliau yang dianggapnya
berkhianat dan dirajakan oleh VOC), serta pasukan Kumpeni (VOC), pada tahun 1752-1757. Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Mangkoenagoro melakukan pertempuran sebanyak 250 kali.
Dalam membina kesatuan bala tentaranya, Said memiliki motto tiji tibèh, yang merupakan kependekan dari mati siji, mati kabèh; mukti siji, mukti kabèh (gugur satu, gugur semua; sejahtera satu, sejahtera semua). Dengan motto ini, rasa kebersamaan pasukannya terjaga.
Tiga pertempuran dahsyat terjadi pada periode 1752-1757.Ia dikenal
sebagai panglima perang yang berhasil membina pasukan yang militan. Dari
sinilah ia dijuluki “Pangeran Sambernyawa”, karena dianggap oleh
musuh-musuhnya sebagai penyebar maut. Kehebatan Mangkunegoro dalam
strategi perang bukan hanya dipuji pengikutnya melainkan juga disegani
lawannya. Tak kurang dari Gubernur Direktur Jawa, Baron van Hohendorff,
yang berkuasa ketika itu, memuji kehebatan Mangkunegoro. “Pangeran yang
satu ini sudah sejak mudanya terbiasa dengan perang dan menghadapi
kesulitan. Sehingga tidak mau bergabung dengan Belanda dan keterampilan
perangnya diperoleh selama pengembaraan di daerah pedalaman.
Yang pertama, pasukan Said bertempur melawan pasukan Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) di desa Kasatriyan, barat daya kota Ponorogo, Jawa Timur. Perang itu terjadi pada hari Jumat Kliwon,
tanggal 16 Syawal “tahun Je” 1678 (Jawa) atau 1752 Masehi. Desa
Kasatriyan merupakan benteng pertahanan Said setelah berhasil menguasai
daerah Madiun, Magetan, dan Ponorogo. Di desa ini terdapat peninggalannya yaitu Ndalem Pramudhaningratan yang ditinggali oleh anak keturunan Raden Said yaitu keluarga Pramudhaningrat.
Yang kedua, Mangkoenagoro bertempur melawan dua detasemen VOC dengan
komandan Kapten Van der Pol dan Kapten Beiman di sebelah selatan negeri Rembang, tepatnya di hutan Sitakepyak
Sultan mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk menghancurkan
pertahanan Mangkunegoro. Besarnya pasukan Sultan itu dilukiskan
Mangkunegoro “bagaikan semut yang berjalan beriringan tiada putus”.
Kendati jumlah pasukan Mangkunegoro itu kecil, ia dapat memukul mundur
musuhnya. Ia mengklaim cuma kehilangan 3 prajurit tewas dan 29 menderita
luka. Di pihak lawan sekitar 600 prajurit tewas. Perang besar yang
kedua pecah di hutan Sitakepyak, sebelah selatan Rembang, yang
berbatasan dengan Blora, Jawa Tengah (Senin Pahing,
17 Sura, tahun Wawu 1681 J / 1756 M).Pada pertempuran ini, Mangkunegoro
berhasil menebas kepala kapten Van der Pol dengan tangan kirinya dan
diserahkan kepada salah satu istrinya sebagai hadiah perkawinan.
Yang ketiga, penyerbuan benteng Vredeburg Belanda dan keraton Yogya-Mataram (Kamis
3 Sapar, tahun Jumakir 1682 J / 1757 M).Peristiwa itu dipicu oleh
kekalutan tentara VOC yang mengejar Mangkunegara sambil membakar dan
menjarah harta benda penduduk desa. Mangkunegoro murka. Ia balik
menyerang pasukan VOC dan Mataram. Setelah memancung kepala Patih
Mataram, Joyosudirgo, secara diam-diam Mangkunegara membawa pasukan
mendekat ke Keraton Yogyakarta. Benteng VOC, yang letaknya cuma beberapa
puluh meter dari Keraton Yogyakarta, diserang. Lima tentara VOC tewas,
ratusan lainnya melarikan diri ke Keraton Yogyakarta. Selanjutnya
pasukan Mangkunegoro menyerang Keraton Yogyakarta. Pertempuran ini
berlangsung sehari penuh Mangkunegoro baru menarik mundur pasukannya
menjelang malam. Serbuan Mangkunegoro ke Keraton Yogyakarta mengundang
amarah Sultan Hamengku Buwono I. Ia menawarkan hadiah 500 real, serta
kedudukan sebagai bupati kepada siapa saja yang dapat menangkap
Mangkunegara. Sultan gagal menangkap Mangkunegoro yang masih keponakan
dan juga menantunya itu. VOC, yang tidak berhasil membujuk Mangkunegoro
ke meja perundingan, menjanjikan hadiah 1.000 real bagi semua yang dapat
membunuh Mangkunegoro.
1.1. Perjanjian Salatiga
Tak seorang pun yang berhasil menjamah Mangkunegara. Melihat kenyataan tersebut, Nicholas Hartingh,
pemimpin VOC di Semarang, mendesak Sunan Paku Buwono III meminta
Mangkunegara ke meja perdamaian. Sunan mengirim utusan menemui
Mangkunegoro, yang juga saudara sepupunya. Mangkunegara menyatakan
bersedia berunding dengan Sunan, dengan syarat tanpa melibatkan VOC.
Singkatnya, Mangkunegara menemui Sunan di Keraton Surakarta dengan
dikawal 120 prajuritnya. Sunan memberikan dana bantuan logistik sebesar
500 real untuk prajurit Mangkunegara.Akhirnya, terjadilah perdamaian
dengan Sunan Pakubuwana III yang diformalkan dalam Perjanjian Salatiga, 17 Maret 1757.
Pertemuan berlangsung di Desa Jemblung, Wonogiri. Sunan memohon
kepadanya agar mau membimbingnya. Sunan menjemput Mangkunegara di Desa
Tunggon, sebelah timur Bengawan Solo. Untuk menetapkan wilayah kekuasaan
Said, dalam perjanjian yang hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III, dan
saksi utusan Sultan Hamengku Buwono I dan VOC ini, disepakati bahwa
Said diangkat sebagai Adipati Miji alias mandiri. Walaupun hanya
sebagai adipati, kedudukan hukum mengenai Mangkunegara I (nama
kebesarannya), tidaklah sama dengan Sunan yang disebut sebagai Leenman
sebagai penggaduh, peminjam kekuasaan dari Kumpeni, melainkan secara
sadar sejak dini ia menyadari sebagai "raja kecil", bahkan tingkah
lakunyapun menyiratkan bahwa "dia adalah raja di Jawa Tengah yang ke-3".
demikian kenyataannya Kumpeni pun memperlakukannya sebagai raja ke III
di Jawa Tengah, selain Raja I Sunan dan Raja II Sultan.
Ia memerintah di wilayah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Akhirnya, Mangkunegara mendirikan istana di pinggir Kali Pepe pada tanggal 4 Jimakir 1683 (Jawa), atau 1756 Masehi. Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal sebagai Istana Mangkunegaran.
Mangkunegara I tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan
wanita di dalam angkatan perang. Selama menjalankan pemerintahannya, ia
menerapkan prinsip Tridarma.
2. Pasukan Wanita Laskar Mangkunegara
Sebanyak 144 di antara prajuritnya adalah wanita, terdiri dari satu
peleton prajurit bersenjata karabijn (senapan), satu peleton bersenjata
penuh, dan satu peleton kavaleri (pasukan berkuda). Mangkunegoro
tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita di dalam
angkatan perang. Prajurit wanita itu bahkan sudah diikutkan dalam
pertempuran, ketika ia memberontak melawan Sunan, Sultan dan VOC. Selama
16 tahun berperang, Mangkunegara mengajari wanita desa mengangkat
senjata dan menunggang kuda di medan perang. Ia menugaskan sekretaris
wanita mencatat kejadian di peperangan.
3. Tarian Ciptaan Mangkunegoro
Tarian sakral yang telah diciptakan oleh RM.Said (KGPAA Mangkoenagoro I), yaitu :
- Bedhaya Mataram-Senapaten Anglirmendung (7 penari wanita, pesinden, dan penabuh wanita), sebagai peringatan perjuangan perang Kesatrian Ponorogo.
- Bedhaya Mataram-Senapaten Diradameta (7 penari pria, pesinden, dan penabuh pria), sebagai monumen perjuangan perang di Hutan Sitakepyak.
- Bedhaya Mataram-Senapaten Sukapratama (7 penari pria, pesinden, dan penabuh pria), monumen perjuangan perang bedah benteng Vredeburg, Yogyakarta.
4. Gelar Pahlawan Nasional
Pada 1983, pemerintah mengangkat Mangkunegara I sebagai pahlawan
nasional, karena jasa-jasa kepahlawanannya.Mendapat penghargaan Bintang
Mahaputra. Mangkunegara I memerintah wilayah Kadaung, Matesih,
Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Ia
bertahta selama 40 tahun, dan wafat pada 28 Desember 1795
5. Putra Mahkota
Tradisi Mataram dengan Putra Mahkota bergelar "Mangkunegara" dimulai
oleh putra sulung Paku Buwono I yaitu RM.suro kemudian menjadi RM.
|Suryokusumo dan sebagai putra mahkota menjadi Kanjeng Pangeran Adipati
Arya Mangkunegara 'Kartasura".
Ketika putra mahkota sudah menjadi raja Mataram, nama dan gelar
seperti RM.Suro, RM. Suryokusumo dan Mangkunegara dikenakan pada putra
sulungnya juga sehingga Pangeran Mangkunegara yang dibuang ke Ceylon ini
adalah putra mahkota kerajaan Mataram.
Ketika penggeseran kedudukan putra mahkota dilakukan oleh kelompok
RM.suryadi (kelak menjadi Paku Buwono II), kedudukan Pangeran
Mangkunegara tidak dilepas tetapi kata "arya" diganti menjadi "Anom"
yang artinya muda.Penggantian ini sekaligus menggeser kedudukan putra
mahkota yang harus bersyarat "Arya" yaitu keprajuritan menjadi non
keprajuritan alias awam soal kemiliteran. Mangkunegara pun diubah
menjadi Hamengkunegara.
Penggeseran kedudukan putra mahkota tidak menghilangkan jabatan di
kerajaan karena di Mataram Pangeran Mangkunegara tetap menjabat sebagai
penasehat kerajaan. Keberadaan Mangkunegara sebagai penasehat ini pun
oleh kelompok lawan lawan poltiknya masih diupayakan untuk menjegal dan
lebih jauh melenyapkan karena sebagai waris sah yang tergeser bisa
diprediksikan diwaktu waktu mendatang bakal menjadi bom waktu yang siap
meledak.
Keberhasilan lawan lawan Mangkunegara dalam menyingkirkan putra
mahkota sah ini selanjutnya akan dibayar mahal oleh Mataram yang begitu
saja rela menyerahkan tampuk pemerintahan pada raja yang lemah dan
peragu. Hohendorf sendiri sebagai kepala garbnisun di Surakarta pernah
menyampaikan kepada Sunan (PB II) bahwa Mataram selama dalam
pemerintahannya tidak pernah stabil dan terus digoyang oleh ketidak
stabilan kerajaan.
Pada satu sisi pernyataan kepala garnisun belanda itu juga
kontroversial berhubung dia sendiri sebagai seorang militer Belanda
melihat sesuatu yang stabil adalah kejelekan yang tidak menguntungkan
kantong pribadinya.
Dari peristiwa penggeseran putra mahkota Mataram ini, sekilas sudah
dapat dicatat adanya satu kelompok yang akan bertahan sampai pada batas
limit perjuangan.
Target Mataram yang utuh dan tidak terbagi gagal dipertahankan tetapi
Mataram yang muda dan utuh berhasil diperjuangkan karena kemudian
menjelma menjadi Mangkunegaran (mengikuti nama putra mahkota Mataram;
Mangkunegara). Mataram yang muda berada berada ditangan raja sedang
mataram yang muda berada ditangan putra mahkota.
Mataram yang yang tua akhirnya menerima nasib dibagi menjadi dua yang
sama saja menamatkan keberadaannya sedang mataram yang muda bertahan
dan menjelma menjadi Mangkunegaran.
Dalam percaturan politik Jawa mau tidak mau dua keraton lain dan
belanda harus menerima Mangkunegaran sebagai neraca keseimbangan poltik.
Meski posisi diatas kertas kedudukan Mangkunegaran di posisikan sebagai
yang dibawah kerajaan karena status kadipaten (sesuai wilayah putra
mahkota kerajaan) akan tetapi defacto politik tidak hanya show dan pamer
kemegahan semata.Politik dan kekuasaan adalah perwahyuan yang harus
dijaga sekaligus kecerdasan dan skill dalam permainan. Barang siapa
tidak mampu dalam permainan itu sejarah tetap akan mencatat prestasi
masing masing kerajaan.
6. Lihat pula
- Daftar Raja-Raja Jawa
- Raja-Raja Mataram II
7. Referensi
- Fananie, Zainuddin, Restrukturisasi Budaya Jawa (Perspektif KGPAA Mangkoenagoro I), Muhammadiyah University Press, 1994. Catatan: Merupakan kajian ilmiah yang telah dilakukannya dan dibiayai oleh Tokyo Foundation.
- Babad Lelampahan, Reksa Pustaka Mangkoenegaran no 222 MS/J. Naskah Asli tersimpan di British Library Manuscript dengan judul Babad Mangkoenegoro. No. Add. 12283.
- Babad Memengsahanipun Kanjeng KGPAA Mangkoenagoro I, Kaliyan Kanjeng Sultan Ngayogya (HB I), Naskah koleksi Museum Radya Pustaka Surakarta, cat, MS/J; no. 308:237 halaman.
- Babad Tutur, naskah transliterasi Th.G.Th. Pigeaud, tercatat dalam Perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunagaran dengan judul Babad Nitik, no. cat.B29 MS/L x 590 halaman.
Mangkunegara II
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara II (disingkat K.G.P.A.A. Mangkunegara II atau Mangkunegara II saja) adalah raja yang kedua di Negeri Mangkunegaran. Nama kecilnya ialah Raden Mas Sulomo, sedangkan gelar-gelar lainnya adalah Pangeran Surya Mataram, Pangeran Surya Mangkubumi, dan Pangeran Adipati Prangwadana. Ia adalah cucu sekaligus penerus tahta pendahulunya, Mangkunegara I. Ayahnya ialah Pangeran Arya Prabuwijaya, putra dari Mangkunegara I yang meninggal dalam usia muda, sedangkan ibunya ialah Ratu Alit, cucu dari Paku Buwono III. Pemerintahan Mangkunegara II berlangsung selama kurang-lebih 40 tahun (1796-1835).
Mangkunegara III
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara III adalah raja yang ketiga di Praja Mangkunegaran. Nama kecilnya ialah Raden Mas Sarengat, sedangkan gelar-gelar lainnya adalah Pangeran Riyo dan Pangeran Arya Prabu Prangwadana. Ia adalah cucu dari Mangkunegara II yang dilahirkan oleh puterinya BRAy. Sayati, yang menikah dengan Pangeran Natakusuma. Pemerintahan Mangkunegara II berlangsung dari tahun 1835-1853.
Mangkunegara IV
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV (KGPAA Mangkunegara IV) lahir pada tanggal 3 Maret 1811 (Senin Pahing, 8 Sapar 1738 tahun Jawa Jumakir, Windu Sancaya) dengan nama kecil Raden Mas Sudira. Ayahnya bernama KPH
Adiwijaya I sementara ibunya adalah putri KGPAA Mangkunagara II bernama
Raden Ajeng Sekeli. Oleh karena KPH Adiwijaya I adalah putera Raden Mas
Tumenggung Kusumadiningrat yang menjadi menantu Sri Susuhunan Pakubuwono III, sedangkan R.A Sekeli adalah puteri dari KGPAA Mangkunagara II,
maka secara garis keturunan R.M. Sudira silsilahnya adalah sebagai cucu
dari KGPAA Mangkunagara II dan cicit dari Sri Susuhunan Pakubuwono III.
Selain itu beliau merupakan cicit dari K.P.A. Adiwijaya Kartasura yang
terkenal dengan sebutan Pangeran seda ing lepen abu yang gugur ketika melawan kompeni Belanda. Masa pemerintahannya adalah sejak 1853 hingga wafatnya 1881.
Mangkunegara V
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara V adalah
penerus dinasti Mangkunegaran yang bertahta relatif singkat (1881-1896).
Dari beberapa sumber tulisan Mangkunegara V disebutkan tidak memiliki
putra mahkota, padahal ia memiliki putra dan putri tetapi masih remaja
dan belum ada yang diangkat sebagai putra mahkota.
Dari putra-putranya yang potensial menggantikan kedudukannya ada dua yakni KPH.Suryakusuma sebagai putra sulung Mangkunegara V dengan nama kecil BRM Samekto dan RMA. Suryasuparta. Kedua putra Mangkunegara V pada fakta sejarah tidak menggantikan ayahnya sebagai Mangkunegara VI karena tahta kemudian jatuh kepada adik Mangkunegara V yaitu RM.Suyitno yang menggantikan kakaknya menjadi
Mangkunegara VI
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VI (1896-1916) adalah RM. Suyitno atau KPA. Dayaningrat adik dari Mangkunegara V dan memerintah di Mangkunegaran sebelum kemudian digantikan oleh keponakannya Mangkunegara VII. Lahir 1 Maret 1857, ayahnya adalah Mangkunegara IV dan ibundanya adalah R.Ay. Dunuk putri dari Mangkunegara III.
Mangkunegara V tidak digantikan oleh putranya langsung karena
puteranya belum mencapai kematangan untuk berkuasa. Menurut KPH.
Gondosuputra tampilnya Mangkunegara VI sebagai penguasa menggantikan
kakaknya adalah pesan dari ayahandanya Mangkunegara IV yang disampaikan oleh ibundanya R.Ay. Dunuk agar Mangkunegara V penerusnya adalah yang berasal dari Mangkunegara IV.
Mangkunegara VII
KGPAA Mangkunegara VII (lahir 12 November 1885 - wafat 1944) adalah pemegang tampuk pemerintahan Mangkunegaran dari tahun 1916 - 1944. Ia adalah salah seorang putera dari Mangkunegara V. Ia menggantikan pamannya, Mangkunegara VI, yang mengundurkan diri pada 11 Januari 1916.
Mangkunegara VII adalah seorang penguasa yang dianggap berpandangan
modern pada jamannya. Ia berhasil meningkatkan kesejahteraan di wilayah
Praja Mangkunegaran melalui usaha perkebunan (onderneming),
terutama komoditas gula. Mangkunegara VII juga seorang pencinta seni dan
budaya Jawa, dan terutama mendukung berkembangnya musik dan drama
tradisional.
Mangkunegara VIII
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VIII (lahir di Kartasura, 7 April 1925 – meninggal di Surakarta, 2 Agustus 1987 pada umur 62 tahun, mulai berkuasa 1944) adalah penguasa Praja Mangkunegaran terakhir yang mengalami masa kolonial Belanda dan yang pertama kali pada masa Indonesia merdeka.
Mangkunegara IX
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IX atau sering disebut Mangkunegara IX adalah putra laki laki kedua dari Mangkunegara VIII. Pada masa remajanya ia bernama GPH. Sujiwakusuma. Dalam pada itu GPH. Sujiwakusuma menjadi raja muda di Mangkunegaran pada zaman dengan alam yang sudah merdeka jadi alamnya Republik Indonesia. Naiknya GPH. Sujiwakusuma ke tampuk kekuasaan Mangkunegaran membawa suasana yang menebalkan catatan catatan para sejarahwan dan juga para kuli tinta (wartawan).
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar